Jumat, 24 April 2020

LEBIH PENTING MANA: CORONA ATAU EKONOMI?

Oleh: Bambamg Tri Cahyono
bambangcahyono@gmail.com

Dengan semakin merebaknya coroma di segenap penjuru dunia, maka resesi ekonomi  dunia akan menjadi sebuah keniscayaan. Ini berarti seluruh dunia sepakat untuk mengatakan bahwa mengatasi pandemi corona adalah lebih penting daripada megatasi resesi dunia.

Pada dua bulan pertama corona bergulir, Indonesia lebih memilih mengatasi masalah ekonomi daripada mewaspadai corona. Namun sejak ada tiga waranegara terpapar corona, maka kita lebih suka memihak corona dan membiarkan kemiskinan meningkat drastis.

Saya melihat di kalangan petinggi negeri ini juga ada dua faksi, antara faksi berpihak pada corona dan faksi berpihak pada ekonomi.

Contohnya Menko Kemaritiman dan Investasi yang menjadi Plt. Menteri Perhubungan, sesuai jabatannya tampaknya lebih suka ekonomi dan investasi jalan terus ditengah corona. Antara lain dengan membolehkan ojol membawa penumpang orang. Sementara protokol Covid-19 atau PSBB tidak membolehkannya.

Presiden Jokowi sendiri juga tampaknya mulai beralih dari memihak ke ekonomi menjadi berpihak ke coona. Alasannya, kesehatan lebih penting daripada isi perut. Padahal lebih banyak orang mati karena kemiskinan daripada karena corona.

Orang Indonesia mulai membayangkan bahwa kalau corona dibiarkan, maka akan banyak orang mati seperti di Amerika Serikat atau Eropa. Padahal mustahil hal itu terjadi, karena orang tua di Indonesia memiliki ketahanan tubuh yang lebih baik daripada di kedua negara tersebut.

Padahal kalau pemerintah tetap berprinsip pada ekonomi jalan terus ditengah wabah corona, maka nasib dan derita rakyat tidak akan seburuk seperti sekarang ini.

Tapi karena pemerintah lebih suka mengutamakan untuk memutus mata rantai penyebaran corona daipada memutus penyebaran mata rantai ekonomi, maka beginilah jadinya. Produksi nasional anjlok, pendapatan masyarakat turun drastis, pengeluaran nasional bertumbuh negatif.

Seharusnya, sebagai negara besar kita tidak perlu mengekor apa yang dilakukan negara lain. Kita memiliki budaya gotong royong untuk melawan corona dengan tetap membolehkan perekonomian jalan terus.

Tapi ya sudahlah, keputusan sudah diambil. Produksi harus dari rumah. Konsumsi harus tetap di rumah. Pendidikan juga tidak boleh di sekolah. Bahkan beribadah juga harus di rumah asja.

Dan para ulama mulai menghibur diri, dengan mengatakan bahwa ada rasa surga di dalam rumah. Para pemimpin negeri mulai mengangkat derajat orang yang di rumah sebagai pahlawan nasional.

Apa boleh buat, kejahatan karena bertahan hidup mulai meraja lela. Kebangkrutan pengusaha kecil, menengah dan besar tampak jelas di depan mata. Tapi maaf saat ini mereka bukanlah prioritas.

MARI PERANGI CORONA TANPA BERTEMPUR!









Tidak ada komentar: